elemen dasar mengajar
A. Unsur
Belajar.
Unsur-unsur
belajar adalah faktor-faktor yang menjadi indikator keberlangsungan proses
belajar. Cronbach sebagai penganut aliran behaviorisme (1954:49-50) menyatakan
dalam Sukmadinata (2004:157) adanya tujuh unsur utama dalam proses belajar,
yang meliputi:
1. Tujuan.
Belajar dimulai karena adanya suatu tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ini
muncul karena adanya sesuatu kebutuhan. Perbuatan belajar atau pengalaman
belajar akan efektif bila diarahkan kepada tujuan yang jelas dan bermakna bagi
individu.
2. Kesiapan.
Agar mampu melaksanakan perbuatan belajar dengan baik, anak perlu memiliki
kesiapan, baik kesiapan fisik, psikis, maupun kesiapan yang berupa kematangan
untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan pengalaman belajar.
3. Situasi.
Kegiatan belajar berlansung dalam situasi belajar. Adapun yang dimaksud situasi
belajar ini adalah tempat, lingkungan sekitar, alat dan bahan yang dipelajari,
guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan seluruh warga sekolah yang
lain.
4. Interpretasi.
Disini anak melakukan interprestasi yaitu melihat hubungan diantara
komponen-komponen situasi belajar, melihat akna dari hubungan tersebut dan
menghubungkannya dengan kemungkinan pencapaian tujuan.
5. Respon.
Berlandaskan hasil interprestasi tentang kemungkinannya dalam mencapai tujuan
belajar, maka anak membuat respon.
6. Konsekuensi.
Berupa hasil, dapat hasil positif (keberhasilan) maupun hasil negatif (kegagalan)
sebagai konsekuensi respon yang dipilih siswa.
7. Reaksi
terhadap kegagalan. Kegagalan dapat menurukan semangat, motivasi, memperkecil
usaha-usaha belajar selanjutnya. Namun, dapat juga membangkitkan siswa karena
mau belajar dari kegagalan.
Sementara
itu para konstruktivis memakai unsur-unsur belajar sebagai beerikut:
1. Tujuan
Belajar.
Tujuan belajar yaitu
membentuk makna. Makna diciptakan para pembelajar dari apa yang mereka lihat, dengar,
rasakan, dan alami. Konstruksi makna dipengaruhi oleh pengertian terdahulu yang
telah dimiliki siswa.
2. Proses
belajar adalah adalah proses konstruksi makna yang berlangsung terus-menerus,
setiap kali berhadapan dengan fenomena atau pengalaman baru diadakan
rekonstruksi, baik secara kuat atau lemah. Proses belajar bukanlah kegiatan mengumpilkan
fakta, melainkan lebih sebagai pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian
yang baru.
3. Hasil
belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar sebagai hasil interaksi dengan
dunia fisik dan lingkungannya.
Dalam
kaitan dengan implementasi empat pilar pembelajaran UNESCO pada praktik
pendidikan, Zhou Nanzhao (2007) menyarankan penguasaan sejumlah kompetensi oleh
siswa sebagai unsur-unsur belajar. Kompentensi-kompentensi yang harus dikuasai
siswa dalam belajar, baik tentang apa saja, dimana saja, dengan siapa saja
antara lain adalah:
1. Kompetensi
daam mengumpulkan, memilih, mengelola, dan mengelola informasi.
2. Kompetensi
dalam menguasai peralatan sebagai sarana untuk mengetahui dan memahami.
3. Kompetensi
dalam berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.
4. Kompetensi
untuk beradaptasi diri menghadapi perubahan kehidupan.
5. Kompetensiuntuk
bekerja sama dengan orang lain dalam suatu tim.
6. Kompetensi
dalam menyelesaikan konflik melalui dialog dan negoisasi yang damai.
B. Prinsip
Umum Belajar
Sebagai simpulanya
terhadap berbagai prinsip belajar baik menurut konsep behaviorisme,
kognitivisme, maupun konstruktivisme, Sukmadinata (2004:165-166) menyampikan
prinsip umum belajar (sedikit dikembangkan) sebagai berikut:
1. Belajar
merupakan bagian dari perkembangan. Belajar dan berkembang merupakan dua hal
yang berbeda, tetapi erat hubungannya. Dalam perkembangan dituntut belajar,
sedangkan melalui belajar terjadi perkembngan individu yang pesat
2. Belajar
berlangsung seumur hidup. Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran sepanjang
hayat (lifeling learning).
3. Keberhasilan
belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan, lingkungan, kematangan, serta
usaha dari individu secara aktif.
4. Belajar
mencakup semua aspek kehidupan. Oleh sebab itu belajar harus mengembangkan
aspek kognitif, afektif dan psikomotor dan keterampilan hidup (life skill). Menurut Ki Hajar Dewantara
belajar harus mengembangkan cipta (kognitif), rasa (afektif), karsa (motivasi)
dan karya (psikomotor).
5. Kegiatan
belajar berlangsung disembarang tempat dan waktu. Berlansung di sekolah (kelas
dan halam sekolah), di rumah, di masyarakat, di tempat rekreasi, di alam
sekitar, dalam bengkel kerja, di dunia industri, dan sebagainya.
6. Belajar
berlansung baik dengan guru maupun tanpa guru. Berlangsung dalam situasi
formal, informal, dan nonformal.
7. Belajar
yang terencana dan disengaja menuntut motivasi yang tinggi. Biasanya terkait
dengan pemenuhan tujuan yang kompleks, diarahkan kepada penguasaan, pemecah
masalah atau pencapaian sesuatu yang bernilai tinggi. Ini harus terencana,
memerlukan waktu dan dengan upaya yang sungguh-sungguh.
8. Perbuatan
belajar bervariasi dari yang paling sederhana sampai dengan yang amat kompleks.
9. Dalam
belajar dapat terjadi hambatan-hambatan. Hambatan dapat terjadi karena belum
adanya penyesuaian individu dengan tugasnya, adanya hambatan dari lingkungan,
kurangnya motivasi, kelelahan atau kejenuhan belajar.
10. Dalam
hal tertentu belajar memerlukan adanya bantuan dan bimbingan dari orang lain.
Orang lain itu dapat guru, orang tua, teman sebaya yang kopeten dan lainya.
Ingat prinsip scaffolding dan ZPD.
C. Tipe
Belajar
Belajar dapat
terjadi Karena pembiasaan (habituasi) seperti dalam pengondisian klasik,
terutama terjadi pada spesies-spesies binatang atau hasil dari aktivitas yang
kompleks, misalnya bermain yang hanya ditunjukan oleh makhluk-makhluk yang
berakal termasuk manusia. Belajar dapat terjadi secara sadar ataupun tidak
sadar. Pada manusia belajar melalui pembiasaan atau habituasi ini dapat diamati
kira-kira pada usia 32 minggu kehamilan dan seterusnya.
Bermain diyakini
oleh banyak ahli sebagai bentuk awal belajar. Anak-anak bermain, bereksperimen
didunia nyata, mempelajari aturan-aturannya dan belajar untuk saling berinteraksi.
Vygotsk berpendapat bahwa bermain amat penting bagi perkembangan anak, karena
melalui bermain anak-anak membangun makna tentang lingkungan.
Jenis-jenis
belajar yang dikembangkan oleh ahli pendidikan dan psikolog cukup banyak.
Diantaranya adalah, belajar sederhana tanpa asosiasi, belajar asosiasi, belajar
melalui pemberian kesan (imprinting),
belajar observasional, bermain enkulturiasi, belajar dengan multimedia, e-learnimg, belajar dengan menghafal (rote learning), belajar informal, belajar
formal, dan belajar nonformal, belajar nonformal yang dikombinasi, serta
belajar melalui dialog. Sejauh ini diindentifikasi minimal ada 15 jenis
belajar.
1. Belajar
Berlandasakan Behaviorisme
Seperti dinyatakan
didepan paham behaviorisme memiliki dampak signifikan terhadap teori maupun
praktik belajar dan pembelajaran. Tipe-tipe belajar yang dilandasi behaviorisme
antara lain sebagai berikut:
a. Belajar
Sederhana Tanpa Asosiasi
Ada
dua macam, yaitu habituasi dan sentisasi. Belajar dengan habituasi ditengarai
oleh adanya pengurangan probabilitas perilaku respon secara progresif (progressive dimution) dengan
pelatihan-pelatihan dan pengulangan stimulasi.
Sementara
itu belajar dengan cara sensitisasi merupakan kebalikan, akan terjadi penguatan
positif terhadap perilaku respon karena pelatihan atau pengulangan (progressive amplification).
b. Belajar
Asosiasi.
Belajar
asosiasi adalah suatu proses dimana suatu materi pembelajaran dipelajari
melalui asosiasi dengan bahan-bahan pembelajaran yang terpisah yang sudah
dipelajari sebelumnya.
c. Pengondisian
Klasik (classical conditioning)
Seperti
yang dikemukakan oleh Pavlov didepan. Belajar merupakan suatu uapaya untuk
mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu.
d. Pengndisian
operan (operant conditioning)
Berawal
dari konsep B.F Skinner, sudah kita pelajari bahwa belajar jenis ini berlainan dengan
pengondisian klasik dari Pavlov. Pengondisian operan terkait dengan modifikasi
perilaku spontan. Contoh belajar jenis ini yaitu belajar membedakan (discrimination learning), atau ada juga
yang disebut sebagai belajar nirkeliru (errorless
learning).
e. Belajar
melalui Kesan ( imprinting)
Istilah imprinting
digunakan dalam istilah psikologi untuk mneggambarkan tahap-tahap sentitif dari belajar pada usia
tertentu atau pada kehidupan tertentu.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan pada saat seseorang
mempelajari karakteristik sejumlah stimulasi, yang disebut menaruh kesan (imprinted) terhadap sesuatu subjek.
f. Belajar
Pengamatan (observational learning)
Ditengarai
oleh adanya proses eniruan (imitasi) setelah mengamati sesuatu. Seseorang
mengulangi perilaku yang diamatinya dari orang lain. Misalnya belajar menari
dengan mengamati tarian instrukturnya, belajar melukis engan mengamati hasil
lukisan orang lain. Manusia dapat mengkopi tiga informasi sekaligus yang
meliputi tujuan-tujuan dari model (demonstrator), aktivitas model dan dampak
kegiatan modelterhadap lingkungan. Melalui ketiga jenis informasi ini seorang
bayi dapat menyesuaikan dirinya (dalam perkemnbangannya) dengan kultur
disekelilingnya.
g. Belajar
Melalui Bermain
Bermain
dinyatakan seabgai suatu perilaku yang tidak memiliki tujuan khusus, tetapi
mampu memperbaiki kinerja manusia jika menjumpai kondisi yang mirip seperti itu
pada masa depan. Bermain pada hakikatnya memboroskan energy, sehingga harus
diperoleh suatu kemanfaatan dalam bermain sebagai timbalbaliknya. Bermain
meningkatkan kesegaran jasmani dan sekaligus memberikan manfaat bagi
pembelajaran.
h. Belajar
Tuntas
Belajar
tuntas adalah suatu upaya belajar dengan penenkanan siswa harus menguasai
seluruh bahan ajar. Karena menguasai 100% bahan ajar amat sukar, maka yang
dijadikan ukuran biasanya menguasai 85% tujuan kompentensi yang harus dicapai.
Tokoh belajar tuntas adalah Benjamin S. Bloom, Fred S. Keller dan James H.
Block. Mereka berasumsi bahwa sekitar 95%siswa sesungguhnya dapat menguasai
secara tuntas bahan pembelajaran yang disampaikan guru. Pada praktik
pembelajaran konvensional ternyata angka ini jauh lebih kecil. Banyak siswa
yang hanya menguasai sebagian kecil dari bahan ajaran. Dengan menerapkan dan
mengikuti prosedur pembelajaran tuntas, jumlah ini ternyata dapat ditingkatkan
mendekati angka 95% tersebut.
Prinsip-prinsip
dasar belajar tuntas yang harus dilaksanakan guru
1) Sbagian
besar siswa dalam situasi dan kondisi
belajar yang normal dapat menguasai sebagian besar bahan yag diajarkan.
2) Guru
menyusun strategi pembelajaran tuntas dimulai dengan menetapkan tujuan-tujuan
khusus (dalam KTSP adalah indikator-indikator dan tujuan pembelajaran, sesuai
dengan SK dan KD yang ada) yang hendak dikuasai oleh siswa. Guru juga harus
menetapkan KKM yang harus dicapai siswa.
3) Sejalan
dengan tujuan-tujuan khusus tersebut, guru memerinci bahan ajar menjadi
satuan-satuan pembelajaran kecil-kecil yang mendukung pencapaian tujuan khusus
tersebut. Hal ini disajikan dalam suatu moodul.
4) Selain
disediakan bahan ajaran (modul) untuk kegiatan belajar utama, juga disusun
bahan ajaran untuk kegiatan perbaikan (remidi) dan pengayaan.
5) Asesmen
(penlaian) hasil belajar tidak menggunakan penilaian acuan norma (PAN) tetapi
menggunakan penilaian acuan kriteria/patokan (PAK)
6) Konsep
belajar tuntas juga memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individual.
Dalam
praktik model belajar tuntas ini ternyata lebih efektif jika menggunakan
model-model instruksional seperti pembelajaran berprogram (programme instruction), pembelajaran modul, paket belajar, model
satuan belajar, pemebelajaran dengan bantuan komputer dan sejenisnya.
2. Belajar
yang Dilandasi Kognitivisme dan Konstruktivisme.
Dalam
hal ini memang agak sulit untuk membedakan secara jelas antara praktik belajar
dan pemlajaran yang dilandasi paham kognitivisme dengan paham konstruktivisme
karena kesinambungan kedua paham tersebut. Seperti diungkap di depan menurut
aliran konstruktivisme yang sebenarnya juga berbasis kognitivisme, belajar
adalah suatu proses aktif menyusun makna melalui setiap interaksi dengan
lingkungan dengan membangun hubungan antara konsepsi yang telah dimiliki dengan
fenomena yang sedang dipelajari (Sutrisno, 1994). Namun, memang tidak boleh
diabaikan bahwa ada sejumlah ahli mengagap adanya sikap khas dari belajar
menurut konstruktivisme dan berbeda dari aliran kognitivisme. Ini terutama
diungkap oleh para ahli yang cenderung menepatkan Jean Piaget sebagai pelopor
kognitivisme dan tidak banyak terlibat dalam konstruktivisme.
Bentuk-bentuk
atau tipe belajar menurut paham konstuktivisme ini antara lain:
a. Belajar
melalui pembudayaan (enculturation)
Pembudayaan adalah suatu
proses dimana seseorang belajar tentang sesuatu yang diperlukan oleh budaya
yang mengelilingi kehidupannya, sehingga diperoleh nilai-nilai dan perilaku
yang sesuai dan diperlukan dalam budaya semacam itu.
b. Belajar
menurut David P. Ausubel dan Floyd G. Robinson (1969)
1) Reception
Learning (belajar menerima)
Bila dilihat dari sisi
pengajar istilahnya menjadi mengajar ekspositor (expository teaching). Ini adalah bentukbelajar yang paling tua
sudah dimulai sejak Plato dan Aristoteles. Belajar ini lebih berpusat kepada
guru, bahan pelajaran disusun dan dipersiapkan dalam bentuk jadi serta
disampaikan oleh guru. Murid tinggal menerima pasif, copy paste terhadap apa yang disampaikan oleh guru, mereka
menghafal dan mencoba memahami apa yang disampaiakan guru. Dalam hal ini
kreasi, dan kebebasan ini tidak berkembang.
2) Rote
Learning (belajar menghafal)
Belajar menghafal adalah
suatu teknik pembelajaran yang mengabaikan pemahaman yang mendalam dan kompleks
serta inferensi dari subjek yang dipelajari. Belajar jenis ini difokuskan
kepada aktivitas menghafal, mengulang-ulang terhadap apa yang dibaca atau yang
didengarnya. Sehingga istilah lain bagi pembelajaran ini adalah belajar dengan
pengulangan (learning by repetation) gagasan
pokok, seseorang akan semakin mudah menghafal jika melakukan
pengulangan-pengulangan. Jangan meremehkan pembelajaran jenis ini, karena
bergantung kepada konteksnya, belajar jenis ini diprlukan.
3) Discovery
Learning (belajar menemukan)
Ada yang menyebut sebagai
inkuiri (inquiry learning), yaitu
suatu kegiatan belajar yang mengemukakan aktivitas anak. Inkuiri menekankan
kepada proses mencarinya, sedangkan diskaveri (menemukan) menekan kepada
penemuan. Dalam strategi ini, bentuk bahan ajar tidak dijadikan sebagai bahan
jadi, tetapi dapat berupa bahan setengah jadi bahkan bahan seperempat jadi.
Bahan pembelajaran dinyatakan sebagai rangkaian pernyataan terstruktur yang
harus dijawab oleh siswa.
4) Meaningful
Leaning (bejar bermakna)
Dalam belajar bermakna
ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, karakteristik bahan yang
dipelajari, kedua adalah struktur kognitif dari individu pembelajar. Bahan baru
yang akan dipelajari tentu saja akan mengubah struktur kogntif siswa haruslah
bermakna, artinya dapat berwujud istilah yang memiliki makna, konsep-konsep
yang bermakna, atau hubungan antara dua atau lebih konsep yang memiliki makna. Selanjutnya,
bahan baru yang akan dipelajari hendaknya dihubungkan dengan struktur kognitif
siswa secara substansial dan beraturan. Substansial artinya bahan yang
dihubungkan harus sejenis atau sama substansinyadengan yang sudah ada pada
struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat
bahan tersebut (karakteristik pengetahuan baru yang diperkenalkan kepada
siswa).
3. Hierarki Belajar menurut Robert M. Gagne
Dalam bukunya yang
berjudul The Conditions of Learning (1970),
Gagne mengemukakan delapan macam jenis belajar yang membentuk suatu hierarki
belajar terhadap dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling kompleks,
yang meliputi:
(1) Signal
learning, atau belajar isyarat. Belajar isyarat merupakan tahap belajar paling
sederhana, setahap lebih tinggi dari perbuatan reflex.
(2) Stimulus-response
learning, belajar rangsangan-tanggapan. Setahap lebih tinggi dari belajar
tanda-tanda. Merupakan upaya untuk membentuk hubungan antara rangsangan dengan
tanggapan. Respon yang diperoleh karena adanya stimulasi lebih bersifat
emosional.
(3) Chaining,
rantai perbuatan. Individu belajar melakukan sesuatu rangkaian kegiatan yang
membentuk suatu kesatuan.
(4) Verbal
association, asosiasi verbal. Perilaku yang berhubungan dalam bentuk verbal
yaitu hubungan bahasa.
(5) Discrimitation
learning, belajar membedakan. Individu belajar melihat perbedaan dan juga
persamaan sesuatu benda dengan lainnya, sehingga dapat melakukan pengelompokan
dan klasifikasi.
(6) Concept
learning, belajar konsep. Menyangkut pemahaman dan penggunaan Konsep-konsep.
Konsep merupakan simbol hasil pemikiran, diperoleh dari hasil membuat
penafsiran terhadap fakta, prinsip, prossedur atau phenomena alam dan hubungan
antara berbagai fakta.
(7) Rule
learning, belajar aturan-aturan, kaidah-kaidah dan hukum-hukum. Hukum-hukum
ilmiah merupakan pernyataan relasi antara berbagai konsep. Hokum relativitas
Einstein yang dirumuskan mengambarkan relasi
antara konsep energy, konsep massa, dan kecepatan cahaya. Belajar aturan dapat
dilaksanakan baik di dalam keluarga, di dalam masyarakat, di sekolah,
pemerintah dan lain-lain.
(8) Problem
solving learning, belajar pemecahan masalah. Individu dihadapkan kepada
masalah-masalah yang haris dipecahkannya, baik masalah yang bersifat praktis
dalam kehidupan maupun teoritis dalam ilmu. Belajar pemecah masalah adalah
belajar dalam menerapkan prinsip-prinsip, konsep-konsep dan hukum keilmuan guna
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Belajar memecahkan masalh
menempati puncak hierarki belajar.
Para
penganut belajar tuntas (mastery learning) baranggapan bahwa implementasi
taksonomi Bloom dan hierarki belajar dari Gagne ini merupakan pakem baku
pembelajaran berbasis mastery learning. Pada faktanya, taksonomi Bloom dan
hierarki belajar dari Gagne ini masih popular dan banyak digunakan oleh
penggemar konstruktivisme pada saat ini.
Komentar
Posting Komentar