bisnis syariah sebagai pekerjaan mulia
Bisnis Syariah sebagai Pekerjaan Mulia
Dunia usaha atau yang lebih dikenal dengan kata bisnis, merupakan dunia
yang paling ramai dibicarakan. Mengapa demikian ? Beberapa orang terkaya yang
kita sering dengar seperti Bill Gates, Warren Buffet, Carlos Slim, dan lain
sebagainya datang dari kalangan pebisnis. Begitu juga di Indonesia, kekayaan
dikuasai oleh para pebisnis seperti Abu Rizal Bakry, Antoni Salim, Chairul
Tandjung, dan lain-lain. Sesuai dengan hadits Nabi SAW, fakta ini menunjukkan
bahwa berbisnis merupakan pintu utama rezeki. Selain itu, merujuk pada sejarah,
profesi bisnis adalah profesi yang mulia, sebagian besar Nabi Allah merupakan
pebisnis, termasuk Nabi Muhammad SAW.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan
dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang
menghasilkan keuntungan. Kata bisnis dari bahasa inggris (business),
dengan kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks
individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dengan arti lain, bisnis itu
identik dengan ’sibuk’ mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan
keuntungan. Secara terminologi, menurut Skinner, bisnis adalah pertukaran
barang, jasa atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat.
Sedangkan, Straub & Attner mendefenisikan bisnis sebagai suatu organisasi
yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang
diinginkan oleh konsumen untuk mendapatkan profit.
Dalam Islam, secara etimologi kata bisnis
berarti identik dengan al-tijarah, al-bai’, tadayantum, dan isytara. Tetapi yang seringkali
digunakan yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal
dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang
atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan. Menurut
ar-Raghib al-Asfahan at-tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk
mencari keuntungan. Secara terminologi, menurut Yusanto & Wijaya Kusuma
bisnis Islami adalah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang
tidak dibatasi jumlah kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya,
namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya disebabkan
aturan halal dan haram.
Berbisnis atau melakukan aktivitas bisnis
merupakan suatu jalan ’halal’ yang dapat dilakukan seorang muslim untuk memperoleh
rezeki guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Bisnis termasuk dalam golongan
muamalah dalam Islam. Ketika membahas tentang muamalah, maka tidak akan
terlepas dari kaidah-kaidah syara’ yang telah ditetapkan ulama terdahulu. Para
ulama dan fuqaha, dalam menetapkan hukum menyangkut masalah-masalah muamalah,
selalu mendasarkan ketetapannya dengan suatu prinsip pokok bahwa ’ segala sesuatu asalnya mubah (boleh). Suatu aktivitas
muamalah akan menjadi haram dilakukan jika terdapat dasar dalil yang mengharamkan
aktifitas tersebut.
Pandangan lain adalah paradigma bisnis dalam
Islam bahwa Allah SWT adalah pemilik segala sumber daya yang ada di dunia,
sedangkan manusia (sebagai pelaku bisnis) berkedudukan sebagai pemegang amanah
yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengelola sumber daya. Tugas pengembanan
amanah ini termasuk tugas ibadah kepada Allah dalam bentuk pelaksanaan
kegiatan bisnis. Oleh karena itu, tujuan yang dikandung di dalam menjalankan
bisnis di dunia adalah dalam rangka mencapai tujuan jangka panjang yaitu
kehidupan yang abadi di akherat. Artinya, bahwa hal yang melatarbelakangi
berjalannya suatu bisnis adalah karena niat beribadah muamalah, berlandaskan
tauhid dan pengabdian kepada allah melalui usaha memberikan manfaat positif
bagi kemaslahatan manusia.
Terdapat 3 (tiga) hal yang harus
dipertimbangkan dalam menjalankan bisnis syariah, yaitu :
2.1.1 Bisnis dilakukan tidak hanya sekedar mencari untung sendirian,
tetapi bisnis juga mencari dan menginginkan tercapainya tujuan lain yang secara
teori dibutuhkan dalam rangka kelangsungan dan eksistensi secara berkelanjutan
atau untuk waktu yang panjang. Hal yang berorientasi pada tujuan untuk menjawab
persoalan-persoalan umat manusia pada umumnya, yaitu mencapai tujuan
kesejahteraan hidup secara ekonomi dan sosial.
2.1.2 Mendirikan bisnis sebagai lahan beribadah mu’amalah mencari ridha Allah SWT yang sesuai dengan
amanah yang diemban manusia untuk memelihara bumi.
2.1.3 Fokus pada tujuan optimal. Orientasi tujuan keuntungan optimal
adalah tujuan jangka panjang dan dilakukan dengan cara penggunaan sumber daya
ekonomi yang benar dan logis setelah memenuhi kebutuhan dan keinginan pihak
Stakeholder. Stake holder utama dalam bisnis Islam adalah Allah. Stake holder
lain : pemilik modal, pemilik SDM Pemilik sumber daya, pemerintah, lembaga
sosial, konsumen dll. Mereka ini amat layak menerima alokasi sumber daya secara
optimal dari sistem bisnis yang melakukan tranformasi dan pembentukan nilai
tambah dalam proses bisnis. Pendukung tercapainya keuntungan optimal,
yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat yang sebenarnya. Hal
ini sangat penting karena majunya bisnis ditentukan oleh masyarakat, khususnya
masyarakat konsumen.
Berdasarkan ketiga hal tersebut arah dan
tujuan bisnis syariah adalah : i), Untuk ibadah : pengelolaan bisnis
diniatkan sebagai ibadah mu’amalah, ii) Kemaslahatan umat &
Ikut serta memecahkan masalah sosial, iii) Mendapat profit yang
layak, iv) Menjaga kelangsungan usaha, v) Pertumbuhan ; artinya
perkembangan aset di masa mendatang, serta vi) Membangun citra yang baik
di masyarakat dengan Menciptakan nilai tambah, manfaat dan kesejahteraan.
1.berdagang
slam pada
prinsipnya tidak melarang perdagangan, kecuali ada unsur-unsur kezaliman,
penipuan, penindasan dan mengarah kepada sesuatu yang dilarang oleh Islam.
Misalnya memperdagangkan arak, babi, narkotik, berhala, patung dan sebagainya
yang sudah jelas oleh Islam diharamkan, baik memakannya, mengerjakannya atau
memanfaatkannya.
Semua
pekerjaan yang diperoleh dengan jalan haram adalah suatu dosa. Dan setiap
daging yang tumbuh dari dosa (haram), maka nerakalah tempatnya. Orang yang
memperdagangkan barang-barang haram ini tidak dapat diselamatkan karena
kebenaran dan kejujurannya. Sebab pokok perdagangannya itu sendiri sudah
mungkar yang ditentang dan tidak dibenarkan oleh Islam dengan jalan apapun.
Ini tidak
termasuk orang yang memperdagangkan emas dan sutera, karena kedua bahan
tersebut halal buat orang-orang perempuan. Justru itu mereka ini kelak di hari
kiamat tidak akan dibangkitkan dalam golongan pendurhaka yang ditempatkan di
neraka Jahim.
Pada suatu
hari Rasulullah s.a.w. keluar ke tempat sembahyang, tiba-tiba dilihatnya banyak
manusia yang sedang berjual-beli. Kemudian Rasulullah memanggil mereka: Hai
para pedagang! ... Mereka pun lantas menjawab dan mengangkat kepala dan
pandangannya. Maka kata Rasulullah:
"Sesungguhnya
pedagang kelak di hari kiamat akan dibangkitkan sebagai pendurhaka, kecuali
orang yang takut kepada Allah, baik dan jujur." (Riwayat Tarmizi, Ibnu
Majah dan Hakim. Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)
Dari
Watsilah bin al-Asqa' ia berkata: "Rasulullah pernah keluar menuju kami
--sedang kami adalah golongan pedagang-- maka kata beliau: 'Hai para pedagang,
hati-hati kamu jangan sampai berdusta.'" (Riwayat Thabarani)
Untuk itu
seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia berdusta, karena
dusta itu merupakan bahaya (lampu merah) bagi pedagang. Dan dusta itu sendiri
dapat membawa kepada perbuatan jahat, sedang kejahatan itu dapat membawa kepada
neraka.
Di samping
itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab Nabi Muliammad
s.a.w. pernah bersabda:
"Tiga
golongan manusia yang tidak akan dilihat Allah nanti di hari kiamat dan tidak
akan dibersihkan, serta baginya adalah siksaan yang pedih, salah satu di
antaranya ialah: Orang yang menyerahkan barang dagangannya (kepada pembeli)
karena sumpah dusta." (Riwayat Muslim)
"Dari
Abu Said ia berkata: Ada seorang Arab gunung berjalan membawa seekor kambing,
kemudian saya bertanya kepadanya: Apa kambing itu akan kamu jual dengan tiga
dirham? Ia menjawab: Demi Allah tidak! Tetapi tiba-tiba dia jual dengan tiga dirham
juga. Saya utarakan hal itu kepada Nabi, maka kata Nabi: Dia telah menjual
akhiratnya dengan dunianya." (Riwayat Ibnu Hibban)
Di samping
itu si pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu dapat
keluar dari lingkungan umat Islam.
Hindari pula
pengurangan timbangan dan takaran, sebab mengurangi timbangan dan takaran itu
membawa celaka, seperti firman Allah: Wailul lil muthaffifin (celakalah
orang-orang yang mengurangi takaran).
Dan hindari
pulalah dari penimbunan, sehingga Allah dan RasulNya tidak akan membiarkan dia
begitu saja.
Terakhir,
hindarilah perbuatan riba. Karena sesungguhnya Allah akan menghancurkannya.
Seperti
tersebut dalam hadis yang mengatakan:
"Satu dirham uang riba dimakan
oleh seseorang, sedangkan dia tahu (bahwa uang tersebut adalah uang riba), akan
lebih berat (siksaannya) daripada tigapuluh enam kali berzina."37 (R
iwayat Ahmad)
Penjelasan
satu persatu persoalannya ini, insya Allah akan kami terangkan nanti di bab
Mu'amalat.
Komentar
Posting Komentar