perdebatan tentang kebijakan perdagangan


Pendekatan strategi industrialisasi untuk kebijakan ekspor 
Sejak pertengahan tahun 1980-an, sebuah cabang pemikiran lain yang penting telah muncul berkenaan dengan hubungan antara perdagangan dan pembangunan. Pendekatan strategi industrialisasi adalah pandangan yang berorientasi ke luar dan optmistik mengenai pembangunan yang dimotori oleh ekspor tetapi masih melibatkan peran aktif pemerintah untuk mempengaruhi jenis dan urutan bidang ekspor, seriring dengan upaya Negara itu untuk memproduksi barang yang lebih canggih, sehingga menambah nilai yang lebih tinggi.
Pendekatan strategi industrialisasi mula-mula berawal dari literature empiris tetapi telah mengembangkan sebuah teori untuk membantu menjelaskan mengapa strategi intervensi pemerintah terhadap ekspor dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan hasil pembangunan lebih sekedar pendekatan pasar bebas murni. Teori ini berfokus untuk mengidentifikasi dan mengatasi kegagalan pasar yang dihadapi dalam proses industrialisasi.
Cabang riset ini telah mengungkapkan bahwa alih-alih menganut pasar bebas, perekonomian Negara-negara Asia Timur yang berorintasi ekspor, kecuali Hongkong, pada kenyataannya mempunyai intervensi pemerintah yang sangat aktif untuk mendorong ekspor industrial dan mencoba menapaki tangga keunggulan komparatif yang lebih tinggi untuk membuat produk dengan kandungan keterampilan yang lebih tinggi dan sarat teknologi. Program tersebut sering disebut sebagai strategi industialisasi atau lebih sempit disebut sebagai kebijakan industri. 
Mengapa suatu perekonomian akan diuntungkan dengan memakai kebijakan ini, dan mengapa kebijakan ini lebih baik daripada alternative lain untuk mencapai tujuan pembangunan? Sudah lama diakui bahwa terdapat kegagalan pasar dalam riset dan pembangunan orisinal; sejumlah manfaat dari biaya riset ini dapat diambil oleh perusahaan lain. Ini merupakan alasan mendasar bagi program riset pemerintah di Negara-negara maju (misalnya National Institutes of Health di AS).namun, kegagalan pasar yang serupa berlaku pada transfer teknologi dari Negara maju ke Negara berkembang. Khususnya, jika suatu perusahaan menyerap teknologi dari luar kawasan tetapi perusahaan lain dikawasan itu mendapatkan manfaat dari belajar dengan mengamati dan dari efek tumpahan (spillover) yang lain, kemudian tanpa dukungan dari luar, kita dapat memperkirakan bahwa terlalu sedikit transfer teknilogi dan peningkatan kualitas perusahaan yang lain dari sudut pandang sosial. Kegagalan pasar ini merupakan sebagian dari penjelasan mengapa strategi industrialisasi pemerintah yang berpusat pada penyerapan teknologi dari luar dapat meningkatkan efesiensi. Setidaknya, pemerintah dapat membantu memecahkan masalah koordinasi. 
Strategi industrial yang berorientasi ekspor sangat penting bagi Negara-negara kecil, salah satu alasannya adalah untuk mendapatkan pangsa pasar yang cukup besar. Penggunaan ekspor manufaktur dengan kandungan teknologi yang semakin canggih sebagai tolok ukur kinerja secara otomatis menekankan target yang membawa manfaat pembangunan yang sangat besar. Di samping itu, pasar ekspor dunia merupakan arena dimana kinerja diuji dengan jelas, cepat, dan ketat, dan sementara itu membuat pemerintah (yang sumber daya dan kapasitas informasinya terbatas) benar-benar brfokus pada masalah yang relevan dan dapat dikelola.
Dalam kaitan ini target ekspor sebagai mekanisme kebijakan pembangunan bermanfaat karena mudah diamati. Fakta ini sudah lama dipahami oleh otoritas fiscal Negara berkembang, yang memajaki barang ekspor hanya karena produk itu mudah diamati dan oleh karena itu pajaknya sulit digelapkan (penggelapan pajak merupakan hal yang sangat umum di Negara berkembang). Distorsi ini mempunyai efek bias antiekspor yang sering diungkapkan para pakar (yang sudah jelas), namun Negara-negara Asia Timur memandang “kemudahan pengamatan fiskal” ini sebagai inti system kebijakan industrial mereka dengan cara yang justru membalikan efek insentif negative pajak barang ekspor.
Namun, teori ini juga menekankan pentingnnya kesinambungan dukungan bagi industri muda (infant industry). Mengapa hal ini kadang-kadang dapat efektif? Pertama, Secara empiris, substitusi impor sering mendahului promosi ekspor. Sebuah studi yang sangat berpengaruh dari Hollis Chenery, Sherwin Robinson, dan Moshe Syrquin menyimpulkan bahwa “periode ekspansi ekspor yang signifikan hamper selalu diawali oleh periode substitusi impor yang tangguh.” Hal ini tidak berpoteksi ke semua industry dapat dilakukan dewasa ini, bahkan untuk Negara besar, tetapi Negara-negara yang utamanya terkenal karena keahlian ekspor mereka, seperti Korea Selatan, sering kali memproteksi untuk sementara waktu industri-industrinya yang kemudian akan menjadi eksportir yang sukses. 
Bukti-bukti menunjukan bahawa singapura, Taiwan, dan Korea Selatan mempunyai strategi industrialisasi pemerintah yang sangat aktif dan kebijakan industry yang spesifik selama beberapa dekade.
Dalam perekonomian global, peluang untuk tumbuh melalui ekspor dengan mengandalkan pada insentif pasar bebas dalam hal tertentu membesar tetapi dalam hal lain tidak sekuat sebelumnya. 
Kondisi yang diperlukan untuk menjalankan strategi industrialisasi pun berbeda-beda pada saat ini dibandingkan dengan yang ada pada tiga dasawarsa yang lalu. Pada saat itu, investor asing jauh lebih mudah bergerak berpindah kenegara manapun yang menawarkan upah atau biaya produksi lain yang lebih rendah . namun, Sanjaya Lall pernah mengatakan, “mobilitas yang meningkat tidak berarti bahwa faktor-faktor produksi menyebarkan dirinya sendiri secara merata ke Negara-negara miskin. Produksi yang efesien memerlukan kapabilitas penduduk setempat untuk melengkapi faktor produksi yang mudah bergerak (mobile). Oleh karena itu, globalisasi memerlukan “lokalisasi” yang efektif, suatu Negara harus menyediakan kebutuhan teknis, keahlian, kualitas, dan keandalan yang diperlukan untuk dapat berproduksi secara lebih kompetitif”.
Seiring denngan terkumpulnya bukti-bukti, tema perdebatan yang terjadi telah bergeser. Alih-alih menolak semua strategi industrialisasi oleh pemerintah, pandangan mayoritas yang berlaku adalah mengakui nilai kebijakan yang secara efektif meningkatkan posisi semua eksportir industri tetapi menghindari apa yang disebut sebagai pilh kasih. Lall berpendapat bahwa dalam prakteknya, pembedaan ini sulit diterapkan karena sering kali organisasi, keahlian, dan infrastruktur baru yang diperlukan hanya cocok untuk sector tertentu. Namun, sebagai titik awal umum, dukungan pemerintah yang tidak pilih kasih dan aktif untuk eksportir manufaktur sebagai kebijakan pembangunan telah diterima oleh banyak kalangan. 
Masalah lain adalah apakah aturan WTO yang baru membolehkan tindakan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan pada tahun 1970-an dan 1980-an dan seberapa tingkatnya. Meskipun dukungan umum bagi semua industri yang tidak mendiskriminasi itu boleh, dan dukungan semacam it uterus dipraktekan oleh perekonomian Negara yang cukup maju dan pemerintahannya cukup terampil untuk malakukannya seperti Taiwan dan Korea Selatan, saat ini Negara-negara berpendapatan rendah yang mestinya akan diuntungkan oleh ekspor secara strategi seperti pernah dilakukan Korea, tidak lagi diizinkan melakukan hal yang serupa. Namun, terdapat sejumlah perkecualian penting pada aturan-aturan ini.
Masalah ketiga adalah apakah pemerintah Negara lain mempunyai kompentensi dan otoritas politis seperti yang pernah dilakukan oleh Korea Selatan selama periode manajemen kebijakan industrinya yang aktif. Untuk Negara-negara yang tidak mempunyai kompetensi ini, para pakar berpendapat bahwa seharusnya Bank Dunia dan lembaga lain membantu pemerintah Negara-negara ini untuk membangunnya. Namun, sejumlah pengamat berpendapat bahwa jika pemerintah tidak mempunyai keahlian yang dibutuhkan itu ( dan tidak dapat memperoleh bantuan internasional untuk membangun kapabilitas yang dibutuhkan), meraka mungkin akan lebih baik memakai strategi yang tidak bersifat interventif (mencampuri mekanisme pasar)
Meskipun konteks perdebatan ini telah berubah, dengan lingkungan dunia jauh lebih kompetitif dan adanya perubahan aturan dalam perdangagan, pertimbangan kebijakan industrial akan terus menjadi unsure penting dalam perancangan strategi ekspor Negara-negara berkembang.
 Upaya mempertemukan kedua kubu argument : Data dan Konsesus.
Kita dapat mengevaluasi perdebatan antara kedua kubu tersebut pada dua tingkatan, yakni tingkatan empiris dan filosofis. Dalam penelitiannya mengenai pengalaman negra-negara Dunia Ketiga selama tiga dasawarsa terakhir, Rostam Kavoussi menyatakan bahwa bukti-bukti empiris yang ada menunjukkan secara jelas bahwa tidak ada kubu yang pendapatnya benar sepenuhnya. Masing-masing kubu itu ternyata sama-sama diliputi oleh kekeliruan dan kelemahan. Benar tidaknya pendapat mereka sangat ditentukan oleh berbagai fluktuasi dalam perekonomian dunia. Jadi tatkala perekonomian global tengah mengalami perkembangan yang pasat, sepeti yang terjadi pada periode antara tahun 1960 hingga tahun 1973, Negara-negara berkembang yang perekonomiannya labih terbuka (lebih aktif terlibat dalam kegiatan perdagangan internasional) memang lebih berhasil dan lebih banyak meraup keuntungan daripada rekan-rekannya yang relativ tertutup. Untuk periode ini, sebagian besar pendapatan kaum pendukung perdagangan bebas memang banyak terbukti. Namun, ketika perekonomian dunia dunia mengalami kemerosotan tajam seperti yang berlangsung selama periode antara tahun 1973 hingga tahun 1977, maka perekonomian Negara-negara berkembang yang lebih terbuka (kecuali keempat Negara industri baru Asia) benar-benar mengalami masa yang sulit. Untuk periode ini, pendapat kaum penentang perdagangan bebas lebih terbukti kebenarannya. Studi lanjutan pada tahun 1988 yang dilaksanakan oleh Hans W. Singer dan Patricia Gray, yang tetap berpegang pada analisis  empiris kanvoussi untuk menelaah kondisi-kondisi pada periode 1977- 1983 (ketika kondisi perekonomian dunia bahkan lebih buruk lagi), membuktikan kesimpulan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pertumbuhan pendapatan ekspor hanya tercipta apabila permintaan eksternal ( dari pasar-pasar intrnasional) cukup tinggi. Kesimpulan mereka sahih berdasarkan pengalaman historis, ekspor Negara-negara berkembang sebenarnya telah tumbuh dengan sangat kuat selama periode pertumbuhan 1990-an, tetapi kemudian turun dengan tajam secara seketika akibat dari lambatnya perekonomian global yang berawal pada tahun 2000.
Perubahan-perubahan kebijakan perdagangan, menurut penelitian tersebut, tidak banyak membawa pengaruh, atau bahkan terkadang tidak ada pengaruhnya sama sekali. Dari penelitian tersebut juga terungkap betapa sialnya Negara-negara didunia yang berpenghasilan rendah; dari waktu ke waktu, dalam segala periode, kondisi konomi mereka tidak kunjung membaik. Singer dan Gray berpendapat, berlawanan dengan pandapat Bank Dunia dan para penganjur. Penganjur perdagangan bebas pada umunya, bahwa kebijakan yang berorientasi ke luar belum tentu cocok untuk masnih-masing Negara –negara berkembang. Itu berarti antara strategi promosi ekspor dan substitusi impor tidak bias dikatakan mana yang lebih baik secara hitam-putih. Setiap bentuk strategi sama-sama memiliki kelebihan, tetapi juga banyak memiliki kekurangan. Bahkan dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang definisinya terbatas itu saja keunggulan relatif dari masing-masing strategi itu tidak bias dipastikan, apalagi dalam konteks “pembangunan” yang maknanya sangat luas itu. Secara konseptual maupun empiris, kedudukan strategi-strategi tersebut sama-sama lemah. Kenyataan fundamental itu harus (dan memeang mulai) disadari oleh para pakar serta segenap pemerhati ilmu ekonomi pembangunan. Sedangkan kesepakatan akan dampak dari WTO masih belum bias diambil.
Dalam akhir analisis, terungkap bahwa ternyata msalah intinya tidaklah terletak pada pemilihan kebijakan yang berorientasi ke luar atau kedalam, bukan hal itu yang akan menetukan bias atau tidaknya Negara-negara berkembang mencapai kemajuan pembangunan. 
Konsesus mengenai perdagangan, dewasa ini mengarah ke suatu pandangan luas mencoba untuk merangkum segenap argument yang relevan baik itu dari model-model pasar bebas maupun proteksionis mengenai berbagai realitas ekonomi, kelembagaan/instutisional dan polit yang spesifik dari Negara-negara Dunia ketiga yang masing-masing berada pada suatu tingkat atau tahapan pembangunan yang berlainan satu sama lain. Apa yang cocok bagi sebuah Negara belum tentu cocok bagi Negara lain. 
Kebijakan perdagangan jangka panjang yang paling baik bagi Negara-negara berkembang yang tergolong kecil dan menengah adalah kebijakn orientasi ke luar sekaligus ke dalam, dengan titik berat pada arah dan sector-sektor ekonomi yang selama dua dasawarsa terakhir telah terbukti paling bisa diandalkan. Secara sederhana, hal tersebut adalah pengembangan perdagangan dan integrasi ekonomi antar sesame Negara-negara berkembang. Selama ini yang terlalu dipentingkan adalah perdagangan Utara-Selatan, padahal perdagangan Selatan-selatan tidak kalah potensialnya. Lagi pula, pengalaman mengecewakan yang dialami Negara-negara berkembang dalam menjalin hubungan dagang dengan Negara-negara Dunia pertama hendaknya dijadikan bahan pelajaran untuk muali memupuk kerja sama yang lebih efektif di antra mereka sendiri.


Perdagangan Selatan-selatan dan Integrasi Ekonomi di Antara Negara-negara Dunia ketiga: Penetapan Orientasi ke Luar Sekaligus ke Dalam
Pertumbuhan perdagangan di Antara Sesama Negara-negara berkembang.
Meskipun volume dan nilai transaksi perdagangan antara sesama Negara-negara berkembang masih relative terbatas (apabila dibandingkan dengan total perdagangan dunia) yang baru sekitar 6,3%, tetapi perkembangannya selama decade 1980-an begitu pesat. Pada tahun 1990, pangsa perdagangan Selatan-selatan tersebut telah meliputi hamper 33 % dari total perdagangan yang dilangsungkan oleh seluruh Negara-negara berkembang. Namun, porsi perdagangan ini turun lagi menjadi sekitar 23,5 % dari seluruh ekspor Negara-negara Dunia Ketiga pada tahun 2002. Kenaikan nilai dan volume ekspor di antara sesama Negara-negara berkembang ini banyak membantu mereka memimbangi kerugian yang diakibatkan oleh semakin lemahnya permintaan serta menggugat proteksionisme di kalangan Negara-negara maju. Ekspor ke Cina telah menjadi kesempatan yang baik bagi beberapa Negara berkembang tahun-tahun berakhir ini. 
Banyak pakar ilmu ekonomi pembangunan yang berpendapat bahwa Negara-negara Dunia ke Tiga harus lebih mengorientasikan perdagangannya kepada perdagangan di antara mereka sendiri. Pendapat ini biasanya bertolak dari empat pemikiran dasar sebagai berikut :
1. Terdapat perubahan relative dalam keunggulan komparatif Negara-negara berkembang dengan adanya perdagangan Selatan-selatan yang tidak terdapat pada perdagangan Utara-Selatan.
2. Potensi keuntungan yang terkandung dalam perdagangan Selatan-selatan masih banyak yang belum digali.
3. Dengan mengandalkan perdagangannya satu sama lain, maka Negara-negara berkembang dapat mengurangi instabilitas ekspor yang sering kali diakibatkan oleh fluktuasi kegiatan ekonomi di Negara-negara maju.
4. Melalui peningkatan hubungan perdagangan Selatan-selatan, maka kemandirian kolektif akan lebih mudah dan cepat terbina.

Integrasi Ekonomi : Teori dan Praktek
salah satu varian atau cabang utana dari hipotesis perdagangan Selatan-selatan menyatakan bahwa Negara-negara berkembang harus meningkatkan perdagangannya di antara sesame mereka sendiri, dan secara bertahap bergerak menuju suatu integrasi ekonomi (economic integration). Intergrasi ekonomi itu terjadi ketika sekelompok Negara dalam kawasan geografis yang sama (idealnya apabila ukuran relatif dan tahapan pembangunan mereka kurang lebih sama ), bergabung untuk membentuk suatu persatuan atau uni ekonomi (economic unionatau suatu blok perdagangan regional (regional tranding bloc). Dalam kepustakaan terminology inetgrasi ekonomi, Negara-negara yang memberlakukan tariff secara seragam terhadap pihak luar dan dalam  waktu yang bersamaan membebaskan perdagangan di antara mereka sendiri, dikatakan telah membentuk sebuah persekutuan pabean (custom union). Bila tarif eksternal terhadap Negara-negara luar yang dipungut oleh satu Negara anggota berbeda dengan yang dipungut oleh anggota yang lainnya, sementara perdagangan internal dibebaskan, maka Negara-negara luar yang telah membentuk apa yang disebut kawasan perdagangan bebas (free trade area). Bentuk yang terakhir adalah pasar bersama (common market), dimana Negara-negara anggotanya selain melaksanakan persekutuan pabean (yaitu dengan memberlakukan tariff eksternal yang seragam dan mengupayakan hubungan perdagangan internal yang benar-benar bebas) juga sepakat untuk membebaskan pergerakan faktor-faktor produksi (terutama tenaga kerja dan modal ) diantara mereka.
Teori tentang persekutuan pabean dan intergrasi ekonomi banyak bersumber dari tulisan-tulisan Profesor Jacob Viner dari Universitas Princeton yang banyak beredar pada dekade 1940-an. Teori ini memusatkan perhatian pada statisnya dampak-dampak yang ditimbulkan oleh realokasi sumber-sumber daya produksi dalam Negara-negara industri yang terintegrasi dan fleksibel. 
Logika dasar ekonomi bagi terselenggaranya intergrasi di antara Negara-negara dunia ketiga bersifat dinamis serta berjangka panjang, intergrasi membuka kesempatan industri untuk berkembang, baik bagi sektor-sektor industri yang belum dibangun maupun bagi sektor-sektor industri yang sangat membutuhkan perluasan pasar, demi mencapai keuntungan dari skla produksi yang cukup besar. Tanpa adanya intergrasi, masing-masing Negara mungkin tidak akan dapat menyediakan pasar yng cukup besar untuk member kesempatan kepada industri-industrinya untuk menurunkan biaya produksi melalui pengembangan skala ekonomis. Selain itu tanpa adanya intergrasi maka sektor-sektor industry yang bersangkutan (misalnya, industri tekstil dan sepatu) mungkin akan dibangun di dua atau lebih Negara yang secara geografis berdekatan. 
Logika ini akan membawa kita pada alasan dinamis atau arti penting kedua intergrasi ekonomi bagi Negara-negara berkembang. Dengan menghilangkan hambatan-hambatan (barriers) perdagangan di antara sesama Negara anggota, maka kemungkinan untuk mengadakan suatu koordinasi perencanaan industri segera tercipta, terutama bagi sector-sektor industry yang skala ekonominya Nampak akan segera muncul. 
Selain kedua argument atau logika intergrasi yang bersifat jangka panjang serta dinamis itu, masih ada standar criteria evaliatif lainnya yang bersifat statis. Criteria itu dikenal dengan sebutan argument penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion). Akan tetapi argument statis yang cenderung menentang intergrasi ekonomi ini melupakan dua kenyataan dasar. Pertema, dengan adanya potensi peningkatan skala ekonomis, penciptaan lapangan kerja, dan perputaran aliran pendapatan di dalam kawasan yang terintergrasi, maka proses pengalihan perdagangan yang statis bisa saja menjadi proses penciptaan perdagangan yang dinamis. Kedua, tanpa adanya intergrasi ekonomi, setiap Negara akan melindungi industry substitusi impor local miliknya dari tekana persaingan produk impor yang berbiaya rendah. Itu berarti pengalihan perdagangan dari adanya intergrasi  ekonomi masih sedikit lebih baik daripada perlombaan tariff yang akan berlangsung jika intergrasi ekonomi tidak jadi dilaksanakan. Lagi pula, intergrasi ekonomi tersebut akan menciptakan peluang perluasan skala ekonomis (economic of scale) sehingga pada akhirnya kemungkinan bagi terciptanya perdagangan yang dinamis menjadi lebih besar.
Blok-blok perdagangan Regional dan Globaisasi Perdagangan
Secara regional seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa Negara dikawasan Amerika Tengah, Afrika Sekatan, dan Afrika barat akan menciptakan kondisi-kondisi ekonomi (terutama dalam bentuk pasar internal yang jauah lebih besar) yang di perlukan bagi berlangsungnya usaha-usaha pembangunan bersama. Pengelompokkan seperti itu juga dapat mendorong pembangunan jangka panjang. 
Namun, sekalipun teori intergrasi itu secara ekonomi nampaknya memang logis dan persuasive, tetapi pada pelaksanaannya tidaklah mudah. Di butuhkan kemampuan kenegarawanan dan orientasi yang bersifat regional (daripada nasional) dikalangan para pemimpin yang celakanya terbilang langka di Negara-negara berkembang. Sebagian besar ekonomi percaya bahwa globalisasi (globalization) akan terus berlanjut, apalagi dengan semakin aktifnya perusahaan multinasional dalam mendirikan anak-anak serta cabang-cabang perusahaannya di berbagai penjuru Dunia. Bagi Negara-negara berkembang blok-blok ekonomi regional yang efektif dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap dampak-dampak negative yang ditimbulkan oleh proses globalisasi, dan dalam waktu bersamaan memungkinkan mereka memetik manfaat-manfaat yang terkandung di dalam spesialisasi produksi yang bersumber dari perdagangan bebas intrakelompok dan pemerataan pembangunan ekonomi di antara Negara-negara anggotanya.
Kebijakan perdagangan Negara-negara maju: Kebutuhan akan Reformasi
Ada tiga bidang kebijakan perdagangan dan perekonomian Negara-negara maju yang sangat penting bagi upaya perolehan devisa Negara-negara Dunia Ketiga.
1. Hambatan-hambatan perdagangan tarif dan nontarif yang menganjal masuk dan berkembangnya ekspor Negara-negara berkembang.
2. Pemberian bantuan penyesuaian bagi para pekerja industri di Negara-negara maju yang lapangan kerjanya tersingkir oleh karena perusahaannya bangkrut akibat tidak mampu bersaing melawan produk ekspor Negara-negara berkembang yang harganya lebih murah dan padat karya.
3. Dampak-dampak umum dari kebijakan-kebijakan ekonomi domestic yang diterapkan oleh pemerintah Negara-negara kaya terhadap perekonomian Negara-negara berkembang.
Hambatan tariff nontarif di Negara-negara kaya dan perjanjian putaran Uruguay GATT 1995 
Samapai pada tahun 1995, tariff proteksionis baru dan aneka hambatan perdagangan nontariff (nontariff trade barriers) yang ada sekarang ini di Negara-negara industri maju (misalnya pajak penjualan, kuota, pembatasan ekspor secara sukarela, aturan sanitasi atau aturan lain yang terkadang terlalu mengada-ada atau berlebihan), yag dikenakan oleh pemerintah Negara-negara kaya tersebut terhadap komoditi ekspor Negara-negara miskin, merupakan kendala utama bagi pengembangan kapasitas Negara-negara miskin dan berkembang dalam memperoleh pemasukan devisa. 
Dampak keseluruhan yang ditimbulkan oleh adanya hambatan tariff maupun hambatan-hambatan nontariff dari Negara-negara maju adalah menurunnya harga-harga efektif yang diterima oleh Negara-negara berkembang dari ekspor mereka (memperburuk dasar-dasar perdagangan mereka), berkurangnya kuantitas produk yang bisa diekspor, dan tentu saja memperkecil penerimaan devisa. 
Namun, situasinya mungkin akan beubah dengan yercapainya perjanjian putaran Uruguay pada bulan april 1994, yang berlaku secara efektif pada tahun 1995, setelah ditandatangani dan sdiratifikasi oleh pemerintah dan parlemen dari 124 negars anggota GATT. Perjanjian itu juga akan membentuk organisasi perdagangan dunia untuk menggantikan perjanjian umum tentang Tarif dan perdagangan (general agreement of tariff and trade/GATT) yang telaah berusia 47 tahun. WTO bemarkas di jenewa, dengan mandat yang luas untuk mengawasi hubungan perdagangan yang bebas, dan bertndak sebagai penengah dalam berbagai pertikaia dagang antar Negara. Ditinjau dari perspektif Negara-negara berkembang, ada tiga usulan terpenting dari perjanjian monumental tersebut, yakni sebagai berikut:
1. Pemerintahan di Negara-negara maju akan mengurangi tariff terhadap ekspor produk manufaktur (termasuk dari Negara-negara Dunia Ketiga) hinnga 40 % secara bertahap dalam waktu lima tahun (besarnya penurunan tariff pertahun yang sama).
2. Perdagangan atas produk-produk pertanian akan menjadi wewenang WTO, dan berbagai hambatannya (tariff maupun nontariff) akan segera dipangkas
3. Untuk tekstil dan pakaian jadi, multifiber arrgement (MFA) yang sejak lama menjadi batu ganjalan ekspor Negara-negara berkembang, akan dihapuskan pada tahun 2005 (sebagian besar akan dilakukan pada tahun-tahun terakhir).
Sebuah studi optimistic yang mencoba memperkirakan dampak kuantitatif perjanjian itu bagi perekonomian Negara-negara dunia  ketiga menyimpulkan bahwa pendapatan riil Negara berkembang akan naik US$78 milyard (dalam satuan niali dollar Amerika Serikatnyang berlaku di tahun 1992). 

Komentar

Postingan Populer