Sosiologi Ekonomi di Era Masyarakat Post-Modernisme


Sosiologi ekonomi kontemporer selain berasumsi bahwa tindakan individu dalam bidang ekonomi dipengaruhi oleh ikatan sosial, juga berasumsi bahwa yang namanya tindakan ekonomi tidak selalu rasional-kalkulatif, dan tidak lepas dari konteks struktur sosial struktur sosial dan kebudayaan dimana masyarakat hidup. Berbeda dengan ilmu ekonomi yang lebih focus mengkaji dinamika pasar dan kondisi perekonomian, sosiologi ekonomi kontemporer lebih menitikberatkan kajian pada persoalan bagaimana kekuatan industry budaya mempengaruhi konsumen agar terus mengonsumsi produk-produk yang mereka tawarkan, termasuk di dalamnya isu-isu tentang perkembangan kapitalisme, proses komodifikasi, perilaku konsumsi, gaya hidup, dan berbagai isu yang berkaitan dengan perubahan social budaya yang terjadi di era masyarakat post-industrial.

Kehadiran system perekonomian fastfood, McDonalisasi, fenomena merebaknya penggunaan kartu kredit sebagai uang plastik yang memudahkan dan meningkatkan perilaku konsumtif konsumen, proses komodifikasi, perkembangan gaya hidup masyarakat post-modern, perkembangan budaya konsumen, dan lain sebagainya adalah tema-tema yang seringkali diperbincangkan dalam kajian sosiologi ekonomi kontemporer.

Dua perkembangan atau pergeseran paling menonjol terjadi di era masyarakat post-modernisme antara lain:

a.       Pertama, terjadinya pergeseran persoalan dari produksi ke konsumsi

b.  Kedua, terjadinya pergeseran fokus kapitalisme dari pengekploitasian pekerja ke pengeksploitasian konsumen. (Ritzer,2010:372-375)

 Di era kapitalisme lanjut, diakui atau tidak perkembangan kekuatan industry budaya benar-benar telah mencapai taraf yang nyaris tak terkendali. Ritzer (2010) mencatat, beberapa perubahan dalam masyarakat post-modernisme yang merusak konsumen antara lain:

·         Pertama, pertumbuhan kartu kredit yang menyebabkan masyarakat membelanjakan uang lebih banyak daripada semestinya dan melebihi uang persediaan yang ada.

·         Kedua, perkembangan shopping mall yang menjamur diberbagai sudut kota, bukan hanya mendemonstrasikan kemunculan tanpa henti produk-produk industry budaya terbaru, tetapi juga menawarkan sekaligus membujuk konsumen untuk membeli sesuatu yang tidak mereka butuhkan.

·         Ketiga,  perkembangan jaringan tv shopping dan cybermall yang member kesempatan masyarakat dapat berbelanja setiap waktu, 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu, yang dengan cara demikian meningkatkan kemungkinan konsumen untuk membelanjakan uang mereka lebih daripada yang semestinya.

·         Keempat, adanya berbagai katalog yang menawarkan produk-produk industri budaya dengan berbagai variasi memungkinkan masyarakat membeli produk dari mana saja di dunia, dan mereka dibujuk untuk membeli produk yang sebetulnya tidak diperlukan.

Tidak ada satupun aspek kehidupan masyarakat di era post-industrial yang tidak terkontaminasi dan bias lepas dari pengaruh kapitalisme. Bahkan, kehidupan umat beragama yang seharusnya jauh dari pengaruh kapitalisme, sering terjadi tidak pula bisa steril dari pengaruh kekuatan kapitalisme. Wisata umrah, kegiatan naik haji yang secara khusus ditawarkan dalam paket istimewa yang melibatkan pendamping artis, misalnya merupakan salah satu contoh yang memperlihatkan bagaimana gaya hidup dan konsumerisme pun telah berhasil merambah dan menjadikan ritus-ritus keagamaan sebagai batu pijakan untuk mencari keuntungan lebih di sector ini. Di sisi lain, kemiskinan dan penderitaan, aktivitas seksual, pornografi dan lain sebagainya, diera post-industrial tak jarang juga mengalami proses komodifikasi, dan menjadi bagian dari kemasan budaya popular yang dikemas dan dan dipertontonkan untuk tujuan meraih keuntungan.

Realitas sosial ekonomi di era masyarakat post-modernisme makin berkembang,  proses komodifikasi makin meluas, dan bahkan perilaku konsumsi masyarakat telah mencapai tingkat akselerasi perkembangan yang tidak lagi bisa dikendalikan, karena dukungan dan pertumbuhan teknologi informasi yang luar biasa. Di era masyarakat post-industrial, masyarakat bukan hanya makin familiar dengan gadget, tetapi juga makin familiar dengan kehidupan dan interaksi sosial di dunia cyberspace-sebuah ruang halusinasi yang tercipta dari jaringan data-data komputer yang digunakan sebagai saluran komunikasi antarmanusia dalam skala global (Pilliang, 2009: 366). Di era masyarakat informasi, masyarakat tidak hanya bisa mengonsumsi produk industri budaya melalui pemesanan via internet, tetapi produk budaya acam apa yang dibeli dan dikonsumsi di internet dan juga stimulasi dari apa yang ditawarkan budaya populer.

Sebagai sebuah bidang kajian, sosiologi ekonomi di era post-modernisme boleh dikata telah menemukan ladang persemian tema yang seolah tak terbatas, dan era ini tidaklah keliru  jika dikatakan sebagai era kebangkitan sosiologi ekonomi kontemporer. Dikatakan sebagai ra kebangkutan sosiologi ekonomi kontemporer. Dikatakan kontemporer, karena realitas social ekonomi yang menjadi fokus kajian tidak lagi berkaitan dengan kehidupan masyarakat  post-modern di mana yang namanya kenyataan dan halusinasi sudah tidak lagi dapat dibedakan. Era post-industrial, post-modernisme, atau era kapitalisme lanjut, adalah era yang melahirkan berbagai persoalan baru yang berkaitan dengan konsumsi dan gaya hidup, dan  bagi sosiologi ekonomi hal ini merupakan tantangan baru yang menarik untuk dikaji dan dipecahkan.  

DAFTAR PUSTAKA

Bagong Suyanto (2013). Sosiologi Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group 


Komentar

Postingan Populer