pengeloaan kelas perliaku bermasalah



A.    Pengertian Perilaku Bermasalah
Perilaku adalah segala sesuatu yang diperbuat oleh seseorang atau pengalaman. Kartono dalam Darwis (2006: 43) mengemukakan bahwa ada dua jenis perilaku manusia, yakni perilaku normal dan perilaku abnormal. Perilaku normal adalah perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, sedangkan parilaku abnormal adalah perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Perilaku abnormal ini juga biasa disebut perilaku menyimpang atau perilaku bermasalah. Apabila anak dapat melaksanakan tugas perilaku pada masa perkembangannya dengan baik, anak tersebut dikatakan berperilaku normal.
Masalah muncul apabila anak berperilaku tidak sesuai dengan tugas perkembangannya. Anak yang berperilaku diluar perilaku normal disebut anak yang berperilaku menyimpang (child deviant behavior). Perilaku anak menyimpang memiliki hubungan dengan penyesuaian anak tersebut dengan lingkungannya. Hurlock (2004: 39) mengatakan bahwa perilaku anak bermasalah atau menyimpang ini muncul karena penyesuaian yang harus dilakukan anak terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang baru. Berarti semakin besar tuntutan dan perubahan semakin besar pula masalah penyesuaian yang dihadapi anak tersebut.
Perilaku menyimpang adalah suatu persoalan yang harus menjadi kepedulian guru, bukan semata-mata perilaku itu destruktif atau mengganggu proses pembelajaran, melainkan suatu bentuk perilaku agresif atau pasif yang dapat menimbulkan kesulitan dalam bekerja sama dengan teman, yang merupakan perilaku yang dapat menimbulkan masalah belajar anak dan hal itu termasuk perilaku bermasalah (Darwis, 2006: 43).
Guru perlu memahami perilaku bermasalah ini sebab anak yang bermasalah biasanya tampak di dalam kelas dan bahkan dia menampakkan perilaku bermasalah itu di dalam keseluruhan interaksi dengan lingkungannya. Walaupun gejala perilaku bermasalah di sekolah itu mungkin hanya tampak pada sebagian anak, pada dasarnya setiap anak memiliki masalah-masalah emosional dan penyesuaian sosial. Masalah itu tidak selamanya menimbulkan perilaku bermasalah atau menyimpang yang kronis (darwis, 2006: 44).
Guru sering kali menanggapi perilaku anak yang bermasalah atau menyimpang dengan memberikan perlakuan secara langsung dan drastis yang tidak jarang dinyatakan dalam bentuk hukuman fisik. Cara atau pendekatan seperti ini sering kali tidak membawa hasil yang diharapkan karena perlakuan tersebut tidak didasarkan kepada pemahaman apa yang ada dibalik perilaku bermasalah (Darwis, 2006: 44). Sekalipun demikian pemahaman terhadap perilaku bermasalah bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan guru.

B.     Gejala Penyimpangan Perilaku pada Anak  
Gejala penyimpangan perilaku anak merupakan tanda-tanda munculnya perilaku menyimpang pada anak. Gejala-gejala penyimpangan perilaku anak merupakan perbuatan atau atau perilaku anak yang dapat menunjukkan bahwa anak tersebut mengalami penyimpangan perilaku anak   yang bersangkutan. Secara umum gejala ini berasal dari dalam diri anak dan dari lingkungan sekitar.
Gejala penyimpangan perilaku dari dalam diri anak muncul akibat ketidakmampuan anak tersebut untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan di mana ia berada. Hal tersebut juga akan mengakibatkan anak berperilaku mundur ke perilaku yang sebelumnya ia lalui (Hurlock, 2004: 39). Sedangkan gejala penyimpangan perilaku pada anak yang berasal dari lingkungan sekitar menurut Hurlock (2004: 288) antara lain pandangan orang tua dan guru terhadap perilaku anak, pola perilaku sosial yang buruk yang berkembang di rumah, lingkungan rumah kurang memberikan model perilaku untuk ditiru, kurang motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial, dan anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar.
Pandangan orang tua dan guru terhadap perilaku anak bermakna bahwa para orang tua dan guru sering menganggap perilaku normal yang mengganggu ketenangan di rumah atau kelancaran sekolah sebagai perilaku bermasalah. Bila mereka beranggapan seperti itu si anak mungkin akan mengembangkan sikap yang tidak menyenangkan terhadap mereka dan terhadap situasi di mana perilaku itu terjadi (Hurlock, 2004: 39). Akibatnya ialah si anak mengembangkan perilaku yang merupakan masalah yang serius, misalnya berbohong, berbuat licik atau merusak sebagai cara membalas dendam.
Pola perilaku sosial yang buruk yang berkembang di rumah merupakan hal yang menjadikan anak akan menemui kesulitan untuk melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah, meskipun dia diberikan motivasi kuat untuk melakukannya. Hurlock (2004: 288) memberikan contoh bahwa, anak yang diasuh dengan metode otoriter, misalnya, sering mengembangkan sikap benci terhadap semua figur berwenang. Contoh yang lain adalah pola asuh yang serba membolehkan di rumah, anak akan menjadi orang yang tidak mau memperhatikan keinginan orang lain, merasa dia dapat mengatur dirinya sendiri.
Kurangnya motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial merupakan hal yang sering timbul dari pengalaman sosial awal yang tidak menyenangkan baik di rumah atau di luar rumah (Hurlock, 2004: 288). Sebagai contoh, anak yang selalu digoda atau diganggu oleh saudaranya yang lebih tua, atau yang diperlakukan sebagai orang yang tidak dikehendaki dalam permainan mereka, tidak akan memiliki motivasi kuat untuk berusaha melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah. Anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar.
Hurlock (2004: 288) menyatakan bahwa meskipun anak memiliki motivasi yang kuat untuk belajar melakukan enyesuaian sosial yang baik, anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar itu. Sebagai contoh apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan dapat “menguasai” agresivitasnya setelah bertambah dewasa dan mengalami hubungan sosial yang lebih banyak, anak itu tidak akan mengasosiasikan agresivitasnya dengan penolakan teman sebaya yang dialaminya dan, akibatnya dia tidak akan berusaha untuk mengurangi agresivitasnya.

C.    Pengelolaan Perilaku Bermasalah
Dalam menangani perilaku bermasalah, ada beberapa jenis tujuan yang harus dipertimbangkan. Yaitu harus menilai efek jangka pendek dan jangka panjang dari strategi pengelolaan manapun yang akan dipilih. Dalam jangka pendek, hasil yang diinginkan adalah bahwa perilaku yang tidak pantas itu terhenti dan para siswa meneruskan atau memulai perilaku yang pantas.
Dalam jangka panjang adalah penting untuk mencegah masalah ini berulang kembali. Pada waktu bersamaan harus berhati-hati akan adanya potensi efek samping yang negative dan mengambil langkah-langkah untuk meminimalkannya. Selain itu, pertimbangkan pula efek pada siswa individu atau siswa yang menyebabkan masalah tersebut serta efek pada seisi kelas.
D.    Jenis-Jenis atau Bentuk-Bentuk Perilaku Menyimpang pada Anak  
Bentuk-bentuk atau jenis-jenis perilaku menyimpang atau mekanisme pertahanan diri ini antara lain rasionalisasi, sifat bermusuhan, menghukum diri sendiri, refresi/penekanan, konformitas, dan sinis (Darwis, 2006 : 44). Adapun bentuk-bentuk atau jenis-jenis perilaku menyimpang anak   dijelaskan pada paparan berikut ini.
1.      Rasionalisasi
Rasionalisasi dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut “memberikan alasan”. Memberikan alasan yang dimaksud adalah memberikan penjelasan atas perilaku yang dilakukan oleh individu dan penjelasan tersebut biasanya cukup logis dan rasional tetapi pada dasarnya apa yang dijelaskan itu bukan merupakan penyebab nyata karena dengan penjelasan tersebut sebenarnya individu bermaksud menyembunyikan latar belakang perilakunya (Darwis, 2006: 44).
2.      Sifat Bermusuhan
Sikap individu yang menganggap individu lain sebagai musuh/saingan. Menurut Darwis (2006: 45) sikap bermusuhan ini tampak dalam perilaku agresif, menyerang, mengganggu, bersaing dan mengancam lingkungan.
3.      Menghukum diri sendiri
Perilaku menghukum diri sendiri terjadi karena individu merasa cemas bahwa orang lain tidak akan menyukai dia sekiranya dia mengkritik orang lain. Orang seperti ini memiliki kebutuhan untuk diakui dan disukai amat kuat (Kartadinata, 1999: 196).
4.      Refresi/penekanan
Refresi ditunjukkan dalam bentuk menyembunyikan dan menekan penyebab yang sebenarnya ke luar batas kesadaran. Individu berupaya melupakan hal-hal yang menimbulkan penderitaan hidupnya.


5.      Konformitas
Perilaku ini ditunjukkan dalam bentuk menyelamatkan diri dari perasaan tertekan atau bersalah terhadap pemenuhan harapan orang lain. Tujuan anak melakukan hal ini agar ia terhindar dari perasaan cemas.
6.      Sinis
Perilaku ini muncul dari ketidak berdayaan individu untuk berbuat atau berbicara dalam kelompok. Ketidak berdayaan ini membuat dirinya khawatir dan cenderung menghindar dari penilaian orang lain.

Semua perilaku mekanisme pertahanan diri di atas mempunyai karakteristik (darwis, 2006: 45). Karakteristik tersebut antara lain:
1.      Menolak, memalsukan, atau mengacaukan kenyataan,
2.      Dilakukan tanpa menyadari latar belakang perilaku tersebut. Pola perilaku pertahanan diri ini cenderung kepada pengurangan kecemasan dan bukan pemecahan masalah yang menjadi dasar penyebab kecemasan itu.

E.     Strategi Pengelolaan Perilaku Bermasalah
Prinsip dasar dari teori belajar perilaku menunjukkan bahwa perilaku pebelajar yang bermasalah (menyimpang) di dalam kelas perlu diatasi melalui penggunaan berbagai penguatan (reinforcer). Dalam hal ini kita harus dapat menerapkan bentuk penguatan yang sesuai dengan jenis perilaku menyimpang dari siswa itu sendiri. Bentuk penguatan yang umum terjadi di dalam kelas adalah berupa perhatian, yang berasal dari pihak guru dan atau sesama pebelajar.
Paling tidak ada 3 macam penguatan sekaligus persoalan yang kalau tidak diperhatikan atau digunakan dengan baik dapat mempengaruhi dan menyebabkan pebelajar berperilaku menyimpang di dalam kelas. Pertama adalah keinginan siswa untuk memperoleh perhatian dari guru (teacher's attention), kedua ialah untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari rekannya sesama siswa/pebelajar (peers' attention) , sedangkan yang ketiga merupakan upaya menghindar dan mencegah dari situasi kelas yang membosankan, monoton, kelelahan, atau jenis situasi lainnya yang kurang menyenangkan (release from unpleasant activities).
1.      Perhatian guru (teacher's attention)
Terkadang siswa berperilaku menyimpang oleh karena ia ingin mendapat perhatian dari gurunya. Berikan perhatian kepada siswa yang mengerjakan tugas atau berperilaku dengan baik, sedangkan bila berperilaku sebaliknya abaikan atau jangan memperhatikan siswa yang melakukan perbuatan tersebut. Bila dengan cara mengabaikan siswa masih belum (kurang) berhasil, maka lakukan "time-out" (menyuruh siswa berdiri di pojok kelas atau di kantor kepala sekolah).
2.      Perhatian siswa (peers' attention)
Dorongan/dukungan atau motivasi dari rekan-rekannya dapat membuat siswa berperilaku menyimpang. Perbuatan siswa tersebut jangan diabaikan/dibiarkan karena akan dapat mempengaruhi siswa lainnya. Setidaknya ada 2 cara dalam menghadapi siswa yang berperilaku karena dukungan dari rekannya, yakni dengan memindahkan posisi/tempat duduk siswa tersebut dari yang lainnya, sedangkan yang kedua adalah dengan menerapkan strategi "group contigencies" yaitu dengan cara menawarkan atau memberikan hadiah/keuntungan (reward) yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh kelas berdasarkan sikap atau perilaku siswa yang diinginkan oleh guru. Bila seorang siswa saja melakukan kekeliruan maka dampaknya seluruh kelas tidak akan memperoleh hadiah tersebut. Misalnya, seluruh siswa akan memperoleh tambahan waktu istirahat 5 menit apabila tidak ada seorang siswa pun yang berbuat kesalahan di dalam kelas.
3.      Menghindari situasi tidak menyenangkan
Siswa yang merasa bosan, jenuh, lelah di dalam kelas dapat mendorongnya berperilaku menyimpang. Cara mengatasi masalah ini diantaranya memperbaiki strategi pembelajaran di kelas, misalnya dengan menggunakan metode belajar bersama (cooperative learning) yang membuat siswa terlibat secara aktif, langsung, dan dinamis dalam belajar. Gunakan pula penghargaan dan atau hadiah-hadiah ringan misalnya dengan memberikan pujian bagi siswa yang melakukan/menanggapi tugas dengan baik. Akan teapi cara ini kurang efektif bila diterapkan bagi siswa yang tingkat pencapaian tugasnya renda (low-achieving student), pada kasus ini guru perlu memberikan bimbingan khusus. Pakar manajemen kelas Carolyn Evertson dan rekannya dalam sebuah buku Educational Psychology karya John. W. Santrock (2007), membedakan antara intervensi minor dan moderasi dalam menangani perilaku bermasalah.

INTERVESI MINOR
Beberapa masalah hanya membutuhkan intervensi minor atau kecil. Masalah-masalah yang kerap muncul biasanya mengganggu aktifitas belajar di kelas. Misalnya, murid mungkin ribut sendiri, meninggalkan tempat duduk tanpa ijin, bercanda sendiri, atau memakan permen di kelas. Strategi yang efektif antara lain adalah:
1.      Gunakan isyarat non verbal
Jalin kontak mata dengan murid. Kemudian beri isyarat dengan meletakkan telunjuk jari di bibir anda, menggeleng kepala, atau menggunakan isyarat tangan untuk menghentikan perilaku tersebut.
2.      Terus lanjutkan aktifitas belajar
Biasanya terjadi suatu jeda dalam transisi aktifitas dalam kegiatan belajar mengajar, dimana pada jeda tersebut murid tidak melakukan apa-apa. Pada situasi ini, murid mungkin akan meninggalkan tempat duduknya, mengobrol, bercanda dan mulai ribut. Strategi yang baik adalah bukan mengkoreksi tindakan mereka tetapi segera melangsungkan aktifitas baru berikutnya.
3.      Mendekati murid
Saat murid mulai bertindak menyimpang. Anda cukup mendekatinya, maka biasanya dia akan diam.
4.      Arahkan perilaku
Jika murid mengabaikan tugas yang kita perintahkan, ingatkan mereka tentang kewajiban itu. Anda bisa berkata, “Baiklah, ingat, semua anak harus menyelesaikan soal matematika ini.”
5.      Beri instruksi yang dibutuhkan
Terkadang siswa melakukan kesalahan kecil saat tidak memahami cara mengerjakan tugas. Untuk mengatasinya anda harus memantau murid dan memberi petunjuk jika dibutuhkan.


6.      Suruh murid berhenti dengan nada tegas dan langsung
Jalin kotak mata dengan murid, bersikap asertif, dan suruh murid menghentikan tindakannya. Buat pernyataan, singkat dan pantau situasi sampai murid patuh. Strategi ini bisa dilakukan dengan mengkombinasikan strategi mengarahkan perilaku murid.
7.      Beri murid pilihan
Berilah murid tanggung jawab dengan memilih dua pilihan, bertindak benar atau menerima konsekuensi negatif. Beri tahu murid apa tindakan benar itu dan apa konsekuensi bila melanggar.

INTERVENSI MODERAT
Beberapa perilaku yang salah membutuhkan intervensi yang lebih kuat ketimbang yang baru saja dideskripsikan pada intervensi minor di atas, misalnya, ketika murid menyalahgunakan aktifitasnya, mengganggu, cabut dari kelas, mengganggu pelajaran, atau mengganggu pekerjaan murid lainnya. Berikut adalah strategi yang bisa dilakukan:
1.      Jangan beri privilese atau aktifitas yang mereka inginkan
Bila anda memperbolehkan murid untuk berkeliling kelas atau mengerjakan tugas dengan murid lain dan ia malah menyalahgunakan privilese yang anda berikan atau mengganggu pekerjaan temannya, maka anda bisa mencabut privilesenya.
2.      Buat perjanjian behavioral
Buatlah perjanjian yang bisa disepakati oleh semua murid. Perjanjian ini harus merefleksikan masukan dari kedua belah pihak yaitu guru dan murid. Jika muncul problem dan murid tetap keras kepala, guru bisa merujuk pada kesepakatan bersama yang telah dibuat.
3.      Pisahkan atau keluarkan murid dari kelas
Bila murid bersenda gurau dan bersikap tidak mengindahkan peringatan, anda bisa memisahkan ia dari murid disekitarnya ataupun mengeluarkannya dari dalam kelas.
4.      Kenakan hukuman atau sanksi
Menggunakan hukuman sebaiknya tidak melakukan tindakan kekerasan, tetapi bisa dilakukan dengan memberikan tugas mengerjakan soal atau menulis halaman tambahan.
Kepembimbingan guru dalam proses pembelajaran dinyatakan dalam upaya mengembangkan dan memelihara lingkungan belajar yang sehat.ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guru untuk memperoleh lingkungan belajar yang sehat.
1.      Memenfaatkan pengajaran kelas sebagai wahan auntuk bimbingan kelompok.dalam hal ini guru dapat bekerja sama dengan konselor sekolah,jika disekolah tersebut telah ada konselor (guru pembimbing).
2.      Memanfaatkan pendekatan-pendekatan kelompok dalm melakukan bimbingan.
3.      Dalam mewujudkan fungsi bimbingan didalam proses pembelajaran guru dapat menggunakan metode yang bervariasi yang memungkinkan peserta didik mengembangkan ketrampilan kehidupan kelompok.metode yang dimaksudkanseperti sosiometri,diskusi dan bermain peran.
4.      Mengadakan konferensi kasus dengan melibatkan para guru dan orang tua murid.konferensi kasus ini dimaksudkan untuk menemukan alternative pemecahan bagi kasus.
5.      Menjadikan segi kesehatan mental sebagai salah satu segi evaluasi.evaluasi disekolah seyoganya tidak hanya menekankan kepada segi hasil belajar tetapi juga perlu memperhatikan perkembangan kepribadian peserta didik.walaupun hasil evaluasi kepribadian itu tidak dijadikan factor penentu keberhasilan peserta didik.
6.      Memasukkan aspek-aspek hubungan insaniah kedalam kurikulum sebagai bagian terpadu dari bahan ajaran yang harus disajikan guru.
7.      Menaruh kepedulian khusus terhadap factor-faktor psikologis yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran

Komentar

Postingan Populer